Waspada Sektor Industri di ASEAN Meredup, Apa Dampaknya ke Indonesia?
Di gospelangolano.com, Ekonom Jakarta Abdullah Ahsan mengingatkan pemerintah untuk memberikan perhatian khusus terhadap tren terkini di Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), khususnya di Thailand, di mana sektor industri sedang mengalami kemunduran.
Menurut laporan kantor berita Reuters, Thailand sedang menyaksikan gelombang penutupan pabrik dan PHK yang meluas. Sekitar 2.000 pabrik tutup tahun lalu dengan total kehilangan sekitar 51.500 pekerjaan.
Perdana Menteri Thailand Srita Thavisin mengatakan tingkat pemanfaatan industri telah turun di bawah 60%, sehingga pertumbuhan ekonomi yang diharapkan di atas 5% tidak mungkin tercapai. Badan perencanaan nasional Thailand, Dewan Pembangunan Ekonomi dan Sosial Nasional, mengeluarkan pernyataan bahwa masalah tersebut muncul antara lain karena banyaknya masuknya barang impor dari Tiongkok, sehingga menyulitkan industri lokal untuk bersaing.
Abdullah mengungkapkan kekhawatirannya masalah serupa bisa muncul di Indonesia jika pemerintah tidak bertindak cepat. Menurut dia, tanda-tanda situasi tersebut terlihat dari banyaknya pekerja yang mubazir (PHK) di industri TPT yang sangat terdampak oleh barang impor.
“Kalau kita lihat kondisi di Thailand, rendahnya pemakaian juga menandakan rendahnya permintaan dari konsumen. Hal ini mungkin disebabkan oleh efek substitusi, karena misalnya ada barang dari luar negeri yang jauh lebih murah efek substitusi,” jelas Abdullah: “Di masa suram perekonomian global akibat geopolitik yang tidak menguntungkan, pemerintah harus menegaskan kebijakan untuk melindungi produsen lokal yang menyerap banyak tenaga kerja.”
Dalam situasi ini, Abdullah berpesan kepada beberapa kementerian terkait langsung dengan fenomena impor barang murah dari China yang bisa berdampak sangat merugikan bagi industri dalam negeri.
“Pertama, menurutnya, Kementerian Perekonomian yang terkoordinasi harus mampu mengkoordinasikan semua kepentingan dengan baik, demi kesejahteraan produsen dan konsumen dalam negeri. Kedua, Kementerian Perindustrian harus menerapkan kebijakan seleksi impor yang ketat dan selalu mengevaluasi secara cermat dampak kebijakan tersebut terhadap daya saing industri lokal, kata Abdullah.
“Ketiga, Kementerian Keuangan harus mampu menetapkan kebijakan kepabeanan impor yang mendukung daya saing industri dalam negeri. Keempat, Kementerian Perdagangan harus menegaskan posisinya dalam mendukung kepentingan nasional dengan tidak menghalangi penerapan pengendalian impor yang ketat di tempatnya,” tambah Abdullah.
Menurut dia, penting untuk menegaskan posisi kementerian yang bertanggung jawab memajukan sektor industri lokal di tengah situasi masuknya barang impor dari China ke Indonesia.
Yang juga sangat penting adalah melindungi sektor industri padat karya di Indonesia dari serangan impor. Pendapat tersebut disampaikan di tengah maraknya barang impor yang masuk ke pasar Indonesia menyusul berlakunya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 yang melonggarkan aturan impor dan protes para pelaku industri lokal.
“Kita perlu fokus pada industri padat karya, karena guncangan bisnis dapat mendorong penurunan produksi. Jika importir barang padat karya menikmati keringanan ini, pemerintah harus memitigasi dampaknya,” jelas Abdullah.
Abdullah juga menyampaikan apresiasi atas langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menghentikan pelonggaran pembatasan impor, khususnya sektor tekstil padat karya. Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyerukan agar pelonggaran pembatasan impor dihentikan karena merugikan industri dalam negeri.
“Saya sependapat dengan Pak Jokowi. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk merumuskan kebijakan yang pro lapangan kerja terutama untuk barang-barang non-esensial seperti tekstil, yang impornya perlu diawasi dan diatur dengan baik. Penghentian pelonggaran pembatasan impor akan memberikan waktu bagi pembuat kebijakan untuk merumuskannya Kebijakan yang komprehensif.
Menurut Abdullah, pemerintah harus mengedepankan pembatasan impor terhadap barang-barang non-esensial yang produksinya padat karya guna menjaga lapangan kerja.
“Impor barang-barang non-esensial harus dibatasi, dan menunggu kemandirian industri lokal. Selain itu, impor barang-barang padat karya seperti tekstil harus dibatasi secara ketat dengan menaikkan bea masuk, karena tekstil bukan barang kebutuhan pokok dan menyerap energi. banyak tenaga kerja,” tambah Abdullah.