Teknologi Transplantasi di Indonesia Alami Kemajuan, Kini Bisa Tangani Sel dan Jaringan
gospelangolano.com, Jakarta – Transplantasi organ adalah pengambilan organ, sel, atau jaringan dari tubuh manusia dan ditempatkan di tubuh pasien yang mengalami gangguan organ.
Menurut ahli urologi Gerhard Reinaldi Situmorang, PhD., prosedur ini justru bisa menyelamatkan nyawa penerimanya.
“Transplantasi biasanya dipertimbangkan setelah semua pengobatan lain gagal dan para dokter percaya bahwa pasien dapat disembuhkan melalui transplantasi organ.” , Juni. 9 2024.
Ia menambahkan, saat ini teknologi transplantasi di Indonesia sudah maju. Sebagian dari pertumbuhan ini disebabkan oleh peningkatan jenis saklar. Sebelumnya, hanya transplantasi organ seperti ginjal dan hati yang bisa dilakukan. Transplantasi sel dan jaringan kini dapat dilakukan di Indonesia.
Selain itu, perkembangan ini mencakup evolusi usia pasien yang mungkin menjalani transplantasi organ. Transplantasi ginjal sebelumnya, misalnya, hanya bisa dilakukan pada orang dewasa. Sekarang hal ini juga dapat dilakukan oleh anak-anak. Belakangan, transplantasi hati yang awalnya hanya dilakukan pada anak-anak, kini bisa dilakukan pada orang dewasa juga.
“Memang perkembangan transplantasi ini tidak lepas dari dukungan pemerintah yang terus menyempurnakan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sehingga dapat membiayai proses transplantasi dan obat-obatan esensial.
“Selain itu, pemerintah mendorong pengembangan layanan transplantasi organ di pusat-pusat di luar Pulau Jawa,” sehingga masyarakat di wilayah barat dan timur Indonesia dapat mengakses layanan tersebut.
Secara teknis, Gerhard tetap mengoperasi donor, kini dengan waktu perawatan yang lebih singkat karena menggunakan teknologi terkini. Tindak lanjut pasca operasi pada penerima juga konsisten dengan tingkat komplikasi yang jauh lebih rendah bagi penerima dan donor.
Tingkat kelangsungan hidup penerima transplantasi juga meningkat karena kemajuan di bidang kesehatan dan pengobatan.
“Hal lain yang perlu diketahui adalah ada juga kemungkinan terjadinya transplantasi organ dari donor dengan golongan darah berbeda atau disebut inkompatibilitas ABO,” jelas Gerhard.
Dari segi inovasi dan teknik yang digunakan, beberapa di antaranya adalah tes infeksi, cermin, dan tes darah human leukosit antigen (HLA).
HLA adalah protein yang ada dalam sel tubuh manusia yang digunakan untuk mencocokkan donor dan penerima ketika dilakukan mutasi. Sedangkan transplantasi lensa menggunakan alat regeneratif bernama Descemet Membrane Endothelial Keratoplasty (DMEK). Ini adalah prosedur baru untuk menggantikan lapisan endotel dan membran Descemet yang rusak.
Ada pula Descemet Stripping Endothelial Keratoplasty (DSEK) yang menggantikan lapisan endotel kornea yang rusak. Selain itu, Descemet Stripping Automated Endothelial Keratoplasty (DSAEK) serupa dengan DSEK namun menggunakan teknologi autoklaf (mikrometer) untuk menyiapkan jaringan donor, laser, dan rekayasa jaringan.
Pengembangan sistem registrasi untuk meningkatkan jumlah pendonor juga terus dilakukan dan diawali dengan program transplantasi organ. Serta persiapan untuk meningkatkan pelayanan transplantasi organ dari pendonor agar semakin banyak pasien yang dapat menerima transplantasi organ.
“Inovasi lain yang sedang dikembangkan adalah layanan sel induk yang akan sangat bermanfaat terutama bagi penderita penyakit seperti hematologi atau kelainan darah,” kata Gerhard.
Meskipun industri transplantasi organ di Indonesia sedang booming, masih banyak kendala yang harus diatasi.
“Kami yakin Indonesia semakin berkembang di kawasan, namun masih terdapat beberapa keterbatasan. Misalnya ketersediaan layanan terpadu dan layanan transplantasi seperti pemeriksaan laboratorium, radiasi, dan sumber daya manusia tetap ada. Berkumpul di kota-kota besar.”
Selain itu, birokrasi yang panjang dalam mengatur transplantasi dan pilihan obat yang terbatas karena harga yang masih relatif mahal, masih menjadi tantangan.
“Jelas ini masih menjadi kekhawatiran kami dan kami berharap akses terhadap transplantasi akan semakin meluas di masa depan,” kata Gerhard.
Namun selain akses dan fasilitas, hambatan juga terjadi pada jumlah pendonor yang terbatas, terutama pendonor organ padat, karena pendonor organ padat berasal dari pendonor hidup, sehingga jumlah pasiennya bisa berubah. Ada batasannya. Dia menyimpulkan.