Susul Uni Eropa, KLHK Godok Landasan Hukum untuk Kategorikan Puntung Rokok Sebagai Limbah B3

0 0
Read Time:3 Minute, 31 Second

gospelangolano.com, Jakarta – Puntung rokok merupakan salah satu jenis sampah yang paling banyak ditemukan di ruang publik. Karena ukurannya yang kecil, banyak orang yang menganggap sampah jenis ini tidak terlalu merusak ekosistem. Namun hasil penelitian mengungkapkan sebaliknya.

Sebuah penelitian di AS menguji berapa banyak puntung rokok dalam satu liter air yang dapat membunuh separuh ikan di akuarium. Ini disebut sebagai LC50 atau konsentrasi mematikan 50%. Alhasil, jumlah racun dalam satu puntung rokok cukup untuk meracuni satu liter air.

“Puntung rokoknya banyak, tapi tidak kasat mata dan tidak banyak orang yang memikirkannya,” kata Ujang Solihin Sadikin, Kepala Subbagian Pengelolaan Produsen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat webinar Hari Sampah Nasional. oleh Zero Waste Alliance bersama Nexus Foundation dan Lentera Anak Foundation pada Selasa 27 Februari 2024.

Karena itu, pria yang akrab disapa Uso ini mengatakan, pemerintah harus menganggap puntung rokok sebagai limbah B3 (racun berbahaya). Hal tersebut menanggapi rekomendasi Jalal, penasihat Komisi Pengendalian Tembakau, dan Yuyun Ismawati, salah satu pendiri dan penasihat senior Nexus Foundation, dalam webinar bertajuk “Pengaruh Filter Puntung Rokok Plastik terhadap Kesehatan dan Lingkungan”. “

Ujang menambahkan, keberadaan limbah puntung rokok tidak dibahas dalam Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN). “Jika perlu, puntung rokok dimasukkan sebagai limbah tersendiri agar jelas jumlahnya dan tercantum dalam SIPSN Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ujarnya menanggapi acara tersebut.

Puntung rokok kini diklasifikasikan sebagai limbah berbahaya (B3) sesuai peraturan Uni Eropa. Keluarnya puntung rokok dapat melepaskan berbagai bahan kimia dari pengolahan tembakau. Misalnya residu pestisida dari pemanenan, titanium dioksida dari proses pembuatan, atau logam yang muncul akibat proses pembakaran.  

Investigasi independen yang dilakukan sekelompok ilmuwan pada tahun 2002 terhadap filter rokok Philip Morris menemukan bahwa perusahaan tersebut berbohong selama 50 tahun tentang filter rokok yang rusak. Hal ini dapat dideteksi karena rokok Philip Morris mengeluarkan filter rokok yang mengandung selulosa asetat atau partikel lainnya dalam kondisi normal atau tanpa filter. 

Karena terbuat dari selulosa, puntung rokok masih bisa didaur ulang. Namun, butuh waktu lima tahun bagi puntung rokok untuk terurai. Daur ulang puntung rokok dapat menghasilkan pestisida atau bahan korosif karena terkontaminasi nikotin, tar, dan logam.

Yuyun menyarankan agar pengelolaan limbah puntung rokok dilakukan dengan mewajibkan adanya tanggung jawab sosial dari perusahaan rokok. Selain itu, Yuyun menilai perlu dikembangkan program dan insentif bagi perusahaan yang dapat mengambil kembali limbahnya dan mendaur ulangnya menjadi sesuatu yang lain yang bermanfaat dan tidak merugikan lingkungan. 

“Pemerintah juga harus berupaya mendukung penelitian tentang bahaya rokok terhadap lingkungan dan mendorong produsen rokok untuk mencari pengganti rokok yang sudah ada,” kata Yuyun.

Namun, Penasihat Komisi Pengendalian Tembakau Jalal menilai tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) perusahaan rokok bertentangan dengan tujuan didirikannya CSR. Jalal mengatakan CSR perusahaan rokok tidak dapat memenuhi tanggung jawabnya sebagai faktor tanggung jawab sosial dalam mengoreksi dampak negatif produksi perusahaan.

“Apa yang dilakukan CSR perusahaan rokok ini disebut dengan Corporate Social Irresponsibility (CSR),” ujarnya.

Misalnya, katanya, dampak lingkungan terbesar dari produksi rokok terhadap perubahan iklim adalah budidaya dan pengeringan daun tembakau, yang belum banyak dilaporkan oleh industri rokok sendiri. Menurutnya, dampak konsumsi rokok terhadap lingkungan jauh lebih besar dibandingkan konsumsi daging merah.

Jalal mengatakan salah satu cara untuk menjaga akuntabilitas industri rokok adalah dengan memperkenalkan peningkatan tanggung jawab produsen (EPR), di mana perusahaan manufaktur tetap bertanggung jawab atas dampak negatif yang ditimbulkan oleh produk mereka, sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh industri rokok. 

Usulan kebijakan yang disampaikan para aktivis pada akhirnya terfokus pada pentingnya menuntut tanggung jawab sosial dari perusahaan rokok untuk mengumpulkan puntung rokok yang menjadi limbah. Mereka juga meminta pemerintah untuk memperkuat peraturan produksi rokok, mengakhiri kredit pajak (tax shelter) bagi perusahaan rokok, memasukkan puntung rokok ke dalam kategori limbah B3 dan memulai reformasi untuk membersihkan limbah rokok yang telah mencemari negara selama bertahun-tahun. .

Dalam hal meminta komitmen dari pihak perusahaan rokok, masing-masing pembicara dan anggota memberikan jawaban yang berbeda-beda. “Perusahaan rokok sendiri yang harus menjawab janji-janji tersebut sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap tanggung jawab sosial,” jawab Yuyun.

“Saya kira masalah tanggung jawab ini mungkin harus diselesaikan Kemenperin dengan perusahaan rokok ini. Kalau bisa, bahkan harus ada cukai puntung rokok yang ditanggung produsennya,” imbuh Uso.

Sementara itu, Ketua Yayasan Lentera Anak mengatakan, “Kalau dipikir-pikir, sepertinya kita belum bisa meminta komitmen dari mereka.” Seharusnya produksinya diatur agar perusahaan-perusahaan rokok ini tidak merasa punya kuasa.” 

happy Susul Uni Eropa, KLHK Godok Landasan Hukum untuk Kategorikan Puntung Rokok Sebagai Limbah B3
Happy
0 %
sad Susul Uni Eropa, KLHK Godok Landasan Hukum untuk Kategorikan Puntung Rokok Sebagai Limbah B3
Sad
0 %
excited Susul Uni Eropa, KLHK Godok Landasan Hukum untuk Kategorikan Puntung Rokok Sebagai Limbah B3
Excited
0 %
sleepy Susul Uni Eropa, KLHK Godok Landasan Hukum untuk Kategorikan Puntung Rokok Sebagai Limbah B3
Sleepy
0 %
angry Susul Uni Eropa, KLHK Godok Landasan Hukum untuk Kategorikan Puntung Rokok Sebagai Limbah B3
Angry
0 %
surprise Susul Uni Eropa, KLHK Godok Landasan Hukum untuk Kategorikan Puntung Rokok Sebagai Limbah B3
Surprise
0 %

You May Have Missed

PAY4D