Pelaku Industri Tekstil: Saat Ini Trennya Bukan Lagi PHK, Tapi Menutup Pabrik
JAKARTA – Gelombang PHK massal yang melanda sektor industri semakin mengemuka. Ratusan ribu pekerja terpaksa diberhentikan oleh industri tekstil dan produk tekstil (TPT), yang penjualannya anjlok di tengah serangan terhadap produk impor yang melanda Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Fiber Fiber Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta menjelaskan, situasi PHK yang diumumkan hanya terlihat di permukaan. Ia mengatakan: Situasi industri TPT dalam negeri saat ini adalah penutupan pabrik yang berujung pada penutupan lapangan kerja.
Berbicara kepada MPI pada hari Jumat, Geeta mengatakan kepada MPI: “Saat ini tidak ada proses PHK, tetapi pabrik akan tutup karena perusahaan mempekerjakan sisa pekerja, sehingga mereka memberhentikan pekerja dan menutup pabrik.” (14/14/2019). 6/2024).
Lanjutnya, selama pemerintah tetap mempertahankan kebijakannya yang memihak asing, maka proses keluarnya perusahaan-perusahaan di industri tekstil akan terus berlanjut.
Gita menjelaskan, keadaan ini akan terus terjadi selama tidak ada tujuan pemerintah untuk mengembangkan pasar, selama pemerintah bersedia mengizinkan pengusaha asing masuk, maka praktik penutupan usaha ini akan terus terjadi.
Dikatakannya, sejak awal tahun 2024, ketika Kementerian Perdagangan menerbitkan Permendag No. 8 Tahun 2024, keadaan semakin memburuk, yang mana prioritasnya adalah mengurangi impor sehingga pasar TPT dapat kembali ke pasar non-domestik. produk.
Sebagai Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024, semangatnya untuk melonggarkan impor barang dari negara lain agar banyak perusahaan di dalam negeri yang bisa kembali membeli produk dari negara lain, industri TPT dirasa sudah tidak ada harapan lagi. Dan arus kasnya buruk, jadi beberapa perusahaan memutuskan. Geeta menyuruh mereka menutup pabrik mereka dan memberhentikan pekerja yang tersisa.
Sekadar informasi, Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPN) Ristadi menjelaskan, menurunnya permintaan produk TPT manufaktur karena kalah bersaing harga dengan barang impor, khususnya barang China.
Rastadi menjelaskan: Pabrik-pabrik tekstil ini telah berusaha bertahan dengan menjual produknya, namun tidak laku, terutama di pasar dalam negeri.
“Produknya tidak laku karena kalah bersaing harga dengan produk TPT negara lain, terutama China, sehingga tidak bisa bertahan lama,” lanjut Ristadi.