Larangan Jual Rokok Radius 200 Meter Ancam Usaha Pedagang Kecil
JAKARTA – Asosiasi Pasar Rakyat Indonesia (APARSI) dan Persatuan Pedagang Makanan Indonesia (PPKSI) bersama-sama meminta pemerintah mencabut larangan penjualan produk tembakau dalam jarak 200 meter dari fasilitas pendidikan dan tempat bermain anak. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan.
Berdasarkan rancangan undang-undang kesehatan dan pengobatan yang beredar luas, Pasal 434 ayat 1 mengatur bahwa penjualan hasil tembakau dan rokok elektrik dilarang dalam radius 200 meter dari lembaga pendidikan dan tempat bermain anak.
General Manager APARSI Suhendro mengatakan aturan tersebut menghambat pertumbuhan ekonomi masyarakat. Padahal pemerintah mendorong berbagai inisiatif dan program untuk meningkatkan aktivitas perekonomian masyarakat. Selain itu, peraturan tersebut juga akan mengancam penghidupan pedagang kecil di seluruh Indonesia.
Dia mengatakan pada konferensi pers di Apasi dan Apasi: Mengingat situasi serius dari rencana kesehatan yang akan disetujui oleh Kementerian Kesehatan, kami menulis surat kepada Presiden Joko untuk mendukung stimulus ekonomi masyarakat. Sikap PPKSI tentang larangan penjualan 200m dalam RPP Kesehatan Jakarta, Rabu (7 Oktober 2024).
Sohendro melanjutkan, pelarangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter tidak mungkin dilakukan. Sebab, selain titik distribusi sekolah, banyak pula pasar di dekat sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Jika disahkan, peraturan tersebut akan menimbulkan efek domino yang dapat mengancam keberlangsungan seluruh pedagang kecil di Indonesia.
“Jika melihat situasi saat ini di kawasan ini, peraturan ini adalah sesuatu yang ingin membunuh orang. Jika diberlakukan, rantai pasokan antara pedagang besar dan pedagang makanan di pasar mungkin akan terpengaruh oleh peraturan yang tidak seimbang ini,” jelasnya .
Dalam kesempatan tersebut, Hamdan Molana, Wakil Ketua Persatuan Pedagang Besar Sumenep Indonesia (PPKSI), mengatakan bahwa 60% dari rata-rata total pendapatan harian pedagang grosir Indonesia berasal dari penjualan rokok, dengan omzet harian sekitar Rp6. 7 juta. Undang-undang ini juga melakukan diskriminasi terhadap pedagang yang mempunyai kios di dekat satuan pendidikan atau tempat bermain anak.
Dia menambahkan: Apa yang akan terjadi dengan toko kelontong yang mendirikan kios di dekat sekolah? Haruskah mereka terpaksa pindah? Jika peraturan ini disetujui, maka tingkat perputaran keuangan para pedagang tersebut akan menurun secara signifikan. Bagi kami, aturan ini sangat diskriminatif.
Oleh karena itu, APARSI dan PPKSI mendesak Presiden Jokowi untuk tidak menandatangani RPP kesehatan yang dapat berdampak buruk bagi jutaan pengusaha kecil di Indonesia. Junidi melanjutkan, pihaknya dan pihak Apasi yang dirugikan tidak dimintai komentar terkait penyusunan peraturan tersebut.
Lanjutnya, selama ini kami belum ikut serta dalam rencana RPP kesehatan yang dirumuskan Kementerian Kesehatan. Memang kami pihak yang dirugikan dengan aturan tersebut, namun saat ini kami sedang berupaya keras untuk menyampaikan tuntutan dan tuntutan kami. Jalan tengah. Kami merekomendasikan untuk mengajukan keluhan kepada Departemen Perdagangan. “
Sekadar informasi, APARSI bertanggung jawab atas 9 juta anggota pedagang pasar rakyat di seluruh Indonesia, termasuk toko kelontong dan toko sembako. Sementara PPKSI memiliki 800.000 warung kecil yang tersebar di seluruh Indonesia.