Keutamaan Lailatul Qadar dan Kadar Minimal Menghidupkannya Menurut Beberapa Tokoh Islam
gospelangolano.com, Batavia Lailatul qadar merupakan malam istimewa yang hanya terjadi di bulan Ramadhan. Sebenarnya sifat malam ini telah disebutkan Allah dalam Al-Qur’an.
Allah berfirman dalam surat Al-Qadar bahwa Lailatul Qadar lebih dari 1000 bulan. Ibadah malam dengan cara, kemuliaan pahala yang lebih baik spacer Ditambahkannya berupa nilai, yang dipujanya selama seribu bulan.
Dalam hadits shahih riwayat Imam Al-Bukhari disebutkan bahwa indahnya hidup di malam Lailatul Qadar adalah terhapusnya dosa.
Dan
Itu berarti:
“Dan barang siapa yang mengharap malam Lailatul Qadar karena keimanan kepada Allah dan pahala-Nya, maka dosa-dosanya akan diampuni.” (HR Al-Bukhari).
Pendeta Ma’had Aly Al-Iman Bulus dan Direktur LBM NU Purworejo, Ustaz Muhamad Hanif Rahman mengatakan, sebenarnya tidak ada yang mengetahui Lailat Qadr kecuali Allah atau orang yang dicintai Allah.
“Jadi apa maksudnya malam Lailatul Qadar, ini malam ganjil di 10 bulan terakhir Ramadhan seperti yang diketahui,” kata Hanif mengutip NU Online, Selasa (2/4/2024). Lailatul Qadar
Baidillah Ar-Rahmani Al-Mubarakfuri (w. 1994) dalam kitabnya Mir’atul Mafatih menjelaskan kalimat ‘man qama lailatalqadar’ artinya menjalani malam lailatul qadar baik diketahui atau tidak tentang malam itu.
Ada pula yang meniadakan shalat Isya berjamaah dengan menjadikan gaya hidup sebagai gaya hidup di malam Lailatul Qadar.
Tapi itu adalah hadits eksternal yang diriwayatkan oleh Al-Karmani. Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang tidak akan hidup sepanjang malam, kecuali ia hidup sepanjang malam atau sebagian besarnya. (Ubaidillah Ar-Rahmani Al-Mubarakfuri, Mir’atul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih, [Banaras India, Idaratul Buhuts Al-Ilmiyah: 1984], juz 6, halaman 405).
Oleh karena itu, sejauh mana malam Lailatul Qadar dilaksanakan agar seseorang berhak atas dirinya sendiri, sebagaimana disebutkan dalam hadits sebelumnya, masih menjadi perdebatan di kalangan ulama.
Jika melihat hadits bahwa indahnya lailatul qadar adalah hidup sepanjang malam atau sepanjang malam. Di sisi lain, ada pendapat yang mengatakan bahwa shalat Isya berjamaah saja sudah cukup.
Sayyid Abdullah Al-Ghumari dalam bukunya Ghayatul Ihsan banyak mengutip riwayat tentang derajat terkecil seseorang yang dianggap pernah hidup pada malam Lailatul Qadar sebagai berikut: Imam Malik
Sebagaimana dikatakan Imam Malik dalam kitabnya, Al-Muwatha’, terjadilah pada beliau yang mengatakan Sa’id bin Musayyib:
Atau *
Itu berarti:
“Barang siapa yang melaksanakan shalat Isya pada malam Lailatul Qadar, maka dia telah mendapat bagiannya dari Lailatul Qadar.” Imam, seperti Syafi’i
Imam As-Syafi’i eqaul qadim berkata:
Itu tidak ada dalam salad sedih yang lembut
Itu berarti:
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat Isya dan Subuh berjamaah pada malam Lailatul Qadar, maka ia menerima sebagian dari Lailatul Qadar.” Abu Hurairah
Diriwayatkan Abu Hurairah dalam sebuah hadits seperti mar’fu;
Itu tidak baik
Itu berarti:
“Barangsiapa yang terakhir salat Isya (sholat Isya) berjamaah di bulan Ramadhan, maka ia mendapat lailatul qadar.” Ibnu Abid Dunya
Kemudian beliau menyebutkan hadis mursal (dha’if) riwayat Ibnu Abid Dunya dari Abi Ja’far Muhammad bin Ali, beliau melihat Nabi Muhammad SAW lalu bersabda:
من عليه رمضان ساحيح فضمضان فرجك ولسانه ويده, dan على nomen يلد pet nomen يلقد
Itu berarti:
“Barangsiapa yang menjumpai Ramadhan dalam keadaan sehat dan beragama Islam serta berpuasa di siang hari, shalat setiap malam, menjaga mata, kemaluan, mulut dan tangan, menjalankan shalat berjamaah dan segera berangkat ke shalat Jumat, ia berkata: “Saya datang sepanjang bulan. , aku mendapat pahala yang penuh, aku mendapat Lailatul Qadar, dan aku bisa mendapat pahala (medali syukur) dari Allah.” (HR Ibnu Abid Dunya). Al-Ghumari
Al-Ghumari menyimpulkan dengan dongeng berikut ini:
“Sungguh besar rahmat Allah yang membuat orang-orang menunaikan shalat Isya dan Subuh berjamaah di bulan Ramadhan, semoga tidak terhalang untuk mengerjakan lailatul qadar.” (Abdullah bin Muhammad bin As-Shiddiq Al-Ghumari, Ghayatul Ihsan fi Fadhli Zakatil Fitri wa Fadhli Ramadhan, [Beirut, Alamul Kutub: 1985], halaman 58).