Dyspraxia Adalah Gangguan Gerak dan Koordinasi, Ini Penyebab, Gejala, dan Mengatasinya
gospelangolano.com, Jakarta – Dispraxia merupakan gangguan gerak dan koordinasi yang mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan gerakan tubuh yang benar. Penyebab kondisi ini masih belum diketahui, namun diyakini disebabkan oleh adanya gangguan pada perkembangan sistem saraf otak.
Gejala dispraksia antara lain kesulitan mengendalikan gerakan tubuh, konsentrasi, dan kesulitan menyelesaikan tugas. Untuk mengatasi dispraksia, dokter menawarkan terapi okupasi, terapi olahraga, dan terapi perilaku kognitif (CBT) untuk membantu pasien mengelola kondisinya.
Meski tidak ada obat yang dapat menyembuhkan dispraksia, kondisi ini dapat membaik seiring bertambahnya usia, terutama pada pasien dengan gejala ringan. Dukungan orang tua dan lingkungan penting dalam membantu anak penderita dyspraxia mengatasi tantangan yang dihadapinya.
Perawatan yang dianjurkan, seperti terapi okupasi dan terapi olahraga, bertujuan untuk meningkatkan keterampilan motorik dan kemandirian pasien dalam aktivitas sehari-hari.
Di sisi lain, untuk mencegah dispraksia, ibu hamil dapat melakukan tindakan pencegahan selama hamil. Mengonsumsi makanan yang sehat dan bergizi, menghindari perokok pasif, dan rutin melakukan tes kehamilan adalah beberapa langkah yang bisa Anda lakukan.
Meski dyspraxia tidak dapat dicegah secara langsung, namun upaya pencegahan ini dapat membantu mengurangi risiko gangguan tumbuh kembang pada anak. Berikut gospelangolano.com ulas ulasan selengkapnya, Rabu (20/3/2024).
Dispraxia, juga dikenal sebagai gangguan koordinasi perkembangan, adalah kelainan neurologis umum yang memengaruhi kemampuan seseorang untuk mengoordinasikan gerakan tubuhnya. Ini termasuk kesulitan melakukan gerakan halus dan umum, serta kesulitan merencanakan dan melaksanakan tindakan motorik.
Di Indonesia, dyspraxia didefinisikan oleh Kementerian Kesehatan RI sebagai kelainan pada sistem saraf yang mempengaruhi kemampuan seseorang dalam merencanakan dan mengembangkan keterampilan motorik halus dan koordinasi.
Data Jurnal Politeknik Terapi Fisik Surakarta menunjukkan bahwa 1 dari 30 anak di Indonesia menderita dispraksia, yang menunjukkan bahwa penyakit ini tersebar luas di tanah air.
Meski penyebab pasti dari dyspraxia masih belum diketahui, namun diketahui bahwa kelainan tersebut tidak dapat disembuhkan sepenuhnya. Namun berbagai keluhan yang muncul akibat dispraksia dapat ditangani dan diperbaiki.
Salah satu gejala umum dispraksia adalah kesulitan dalam merencanakan dan melaksanakan gerakan fisik, yang dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan sehari-hari pengidapnya. Selain itu, anak penderita dyspraxia juga sering mengalami kesulitan dalam mengontrol volume suaranya sehingga dapat mempengaruhi komunikasi verbalnya.
Menurut majalah STP Mataram, prevalensi autisme juga sering dikaitkan dengan dispraxia, dimana 1 dari 54 anak di seluruh dunia menderita gangguan autis pada tahun 2016. Hal ini menunjukkan bahwa dispraxia sering dikaitkan dengan gangguan neurologis lainnya, sehingga menunjukkan kompleksitas diagnosis dan penatalaksanaannya. .
Oleh karena itu, pemahaman yang lebih baik mengenai dispraksia dan penatalaksanaannya menjadi penting dalam upaya meningkatkan kualitas hidup individu dengan gangguan tersebut. Kecerobohan: Anak penderita dyspraxia cenderung ceroboh dalam melakukan aktivitas sehari-hari, seperti sering terjatuh atau menjatuhkan barang. Misalnya saat bermain di taman bermain, anak sering kali tidak bisa mengontrol gerakannya dengan baik sehingga sering kali mengetuk atau merusak mainannya. Kesulitan berkonsentrasi: Anak-anak penderita dyspraxia sering kali mengalami kesulitan fokus, mengikuti perintah, dan mengingat informasi yang diberikan kepada mereka. Misalnya saja di dalam kelas, anak seringkali tidak memperhatikan penjelasan guru dan kesulitan memahami isi pelajaran. Ketidakmampuan mengendalikan perilaku: Anak-anak dengan dispraksia sering kali mengalami kesulitan mengendalikan perilakunya. Misalnya, mereka mungkin merasa sulit untuk tenang dan tidak mampu mengendalikan diri ketika situasi mengharuskannya. Menyelesaikan tugas: Anak penderita dispraksia seringkali mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas baik di sekolah maupun di rumah. Misalnya, mereka mungkin memerlukan lebih banyak waktu dan bantuan ekstra untuk mengerjakan pekerjaan rumah atau sekolah. Kesulitan mempelajari informasi baru: Anak-anak penderita dyspraxia seringkali mengalami kesulitan memahami dan mengingat informasi baru. Misalnya, mereka mungkin memerlukan lebih banyak pengulangan dan metode pengajaran visual untuk memahami konsep-konsep baru. Kesulitan menjalin pertemanan baru: Anak-anak penderita dyspraxia seringkali mengalami kesulitan beradaptasi dan membangun hubungan dengan teman sebayanya. Misalnya, mereka mungkin merasa bingung atau tidak nyaman dalam situasi sosial baru dan sulit berbicara atau melakukan aktivitas dengan teman. Kesulitan atau kelambatan dalam memakai dan melepas sepatu: Anak penderita dyspraxia seringkali mengalami kesulitan atau membutuhkan waktu lama untuk melakukan tugas sehari-hari seperti memakai atau melepas sepatu. Misalnya, mereka mungkin memerlukan bantuan orang tua atau wali untuk memilih dan mengenakan pakaian dan sepatu.
Penyebab dyspraxia masih menjadi misteri dalam ilmu kedokteran. Menurut Kementerian Kesehatan RI, kondisi tersebut diyakini disebabkan oleh adanya gangguan pada perkembangan sistem saraf otak. Gangguan ini mengganggu aliran sinyal saraf dari otak ke anggota tubuh, suatu proses penting untuk koordinasi dan pergerakan anggota tubuh.
Proses koordinasi dan pergerakan bagian tubuh melibatkan saraf dan bagian otak yang bekerja sama.
Jika terjadi gangguan pada salah satu saraf atau bagian otak tersebut, maka dapat menyebabkan dispraksia. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa individu dengan gangguan ini mengalami kesulitan dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas fisik yang benar.
Selain itu, terdapat beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan peluang seseorang terkena dispraksia. Salah satunya adalah masa pubertas, dimana bayi yang lahir prematur berisiko mengalami gangguan tumbuh kembang, termasuk dispraksia. Selain itu, anak dengan berat badan kurang juga bisa terkena penyakit ini. Selain faktor tersebut, riwayat keluarga juga bisa menjadi faktor risiko terjadinya dispraksia. Anak-anak dengan riwayat keluarga yang menderita dispraksia atau gangguan koordinasi lebih mungkin mengalami kondisi yang sama. Selain itu, gaya hidup ibu saat hamil juga bisa mempengaruhinya. Ibu yang merokok, minum alkohol, atau menggunakan obat-obatan selama kehamilan meningkatkan risiko anak terkena dispraksia.