Cara Orangtua Cegah dan Mengatasi Anak Jadi Pelaku Bullying
gospelangolano.com, Jakarta – Bullying atau perundungan merupakan masalah yang sering terjadi pada anak usia sekolah. Masalah yang semakin umum ini harus ditanggapi dengan serius karena dapat berdampak signifikan terhadap kesehatan mental dan perilaku anak, baik korban maupun pelaku.
Kebanyakan orang tua biasanya lebih berhati-hati untuk mencegah anaknya menjadi sasaran bullying. Namun, mereka gagal memahami bahwa kegagalan dalam mendidik anak tidak lebih penting daripada perundungan dan pelecehan.
Dian Ibung, S.Psi., psikolog klinis dan psikiater, mengatakan yang perlu dilakukan CMHA adalah meningkatkan kesadaran tentang dampak negatif bullying terhadap anak. Akibat negatifnya tidak hanya berdampak pada korbannya tetapi juga pelakunya. Korban kekerasan mungkin menderita trauma dan trauma psikologis jangka panjang, bahkan depresi dan kematian. Cedera fisik juga dapat berdampak negatif pada kondisi fisik dan mental korban.
Pada saat yang sama, bagi para penjahat, ada rasa kekuasaan tertinggi yang didasarkan pada rasa percaya diri yang tidak pantas. Dian Ibung menjelaskan kepada gospelangolano.com Dian Ibung menjelaskan kepada gospelangolano.com, “Penjahat dengan konsep diri yang tidak realistis mungkin terlalu percaya diri. Mereka memiliki sedikit atau tidak ada empati terhadap orang lain dan tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan atau memeriksa suara hati mereka.
Selain itu, orang tua juga disarankan untuk mengingatkan mereka akan pentingnya kehati-hatian dan kebaikan. Lantas, apa yang harus dilakukan orang tua saat mengetahui anaknya melakukan bullying? Menurut Dean, tanyakan kepada anak tersebut apa sebenarnya yang terjadi, kemudian selidiki dan tanyai saksi-saksi mengenai kejadian tersebut.
Ajaklah anak Anda untuk membicarakannya. Tanyakan mengapa, bagaimana, dimana, kapan, apa yang terjadi dan siapa yang hadir (korban dan saksi kejahatan lainnya).
Jelaskan juga bahwa anak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan kemudian meminta maaf kepada korban dan pihak yang terkena dampak. “Anak-anak juga harus paham dan siap menerima konsekuensinya. Mereka harus sadar dan berkomitmen untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama,” ujarnya.
Sedangkan bagi orang tua yang cenderung terus membela anaknya meski terbukti salah, Dean mengatakan orang tua tidak mengajarkan nilai benar dan salah kepada anaknya. Jika pekerjaan ini terus dilakukan dan terjadi banyak hal maka akan mengakibatkan persepsi diri anak menjadi salah, tidak realistis, dan sulit menerima lingkungan. Dalam hal ini, bukan tidak mungkin orang tua bisa memberikan perhatian kepada anaknya.
Sementara itu, sosiolog dan pengamat sosial Youssall mengatakan orang tua tidak boleh terlalu protektif terhadap anak ketika mereka di-bully. Orang tua harus menghukum anak-anak mereka sesuai dengan perilaku mereka sebagai penindas. Hal ini juga dapat memberikan wawasan terkait keyakinan atau nilai-nilai agama.
“Misalnya, sehubungan dengan karma, jika Anda menyakiti seseorang, seseorang akan menyakiti Anda di masa depan.” “Saya pikir hal penting lainnya adalah orang tua dari pelaku kekerasan harus memiliki hubungan yang baik dengan keluarganya, terutama dengan korban pelecehan ,” kata Yusal kepada gospelangolano.com, Kamis, 29 Februari 2024.
Orang tua dari pelaku kekerasan harus memperlakukan korban kekerasan seperti anak mereka sendiri, yang berarti menghormati orang lain dan melindungi korban. Dengan demikian, pelaku kekerasan akan tetap memperhatikan keeratan hubungan orang tua dan melindungi korban hingga “benteng perlindungan” orang tua pelaku tidak berani mengulangi kesalahan yang sama lagi.
Terkait orang tua yang menganiaya anaknya, Usal mengatakan hal itu wajar dan wajar. Namun bisa saja kasih sayang orang tua terlalu terlihat, dan dalam hal ini orang tua yang terlalu protektif justru mendukung perilaku anak tersebut, kata Yussar.
“Kehadiran pembelaan ini membuat pelaku intimidasi lebih cenderung merasa ‘inferior’, yang membuatnya merasa lebih kuat dan membenarkan serta merasionalisasi perilakunya . “Itu korbannya,” katanya.
Jussall menambahkan, dalam kasus pelecehan yang bersifat viral, pelaku tidak tampak merasa bersalah atau menyesal. Hal ini terjadi karena ia merasa memiliki “inferioritas” dan itu adalah orang tuanya, yang hanyalah orang-orang terdekat dengan pelaku.
Satriavan Salim, Koordinator Nasional (Cornas) P2G (P2G), juga mengutarakan pandangan serupa. Baik gaya pengasuhan maupun faktor lingkungan sangat mempengaruhi apakah seorang anak menjadi seorang pelaku intimidasi.
Selama ini, bisa dikatakan anak jarang bertemu dengan orang tuanya karena kesibukannya. Orang tua harus bekerja, dan anak-anak jarang melihat orang tua yang bekerja sepulang sekolah.
Situasi ini seringkali membuat anak menjadi lebih dekat dengan temannya dan mempunyai klik atau kelompok tertentu (peer group), atau menghabiskan lebih banyak waktu di jejaring sosial. Pengaruh buruk dari kelompok teman sebaya atau media sosial dapat memicu anak untuk melakukan perilaku intimidasi.
Oleh karena itu, cara membesarkan anak dan peran orang tua sangat penting dalam membesarkan anak. Meski waktunya tidak banyak, orang tua hendaknya tetap mendengarkan keluh kesah anak dan mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi anak.
Misalnya, jika anak kita ditindas di sekolah, sebaiknya periksa pesan konfirmasinya terlebih dahulu. Satriavan Salim mengatakan kepada gospelangolano.com, Jumat, 1 Maret: “Kalau ternyata anak kita di-bully, sebaiknya kita tidak membelanya karena bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan, dan akan berdampak buruk bagi masa depan anak. .
Satriavan juga menyarankan agar sekolah membentuk TPPK (Tim Pencegahan dan Pemberantasan Kekerasan) untuk mengusut kasus bullying di sekolah. Tim akan menentukan siapa korban dan siapa pelaku.
Sayangnya masih banyak sekolah di Indonesia yang belum memiliki TPPK, padahal aturannya sudah ada yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 46 Tahun 2923. Banyak juga pemerintah provinsi yang belum mengetahui hal tersebut karena saat ini yang ada hanya TPPK. Di delapan provinsi, tim ini tidak hanya terdiri dari guru dan masyarakat, tetapi juga harus melibatkan orang tua, karena merekalah yang paling mengetahui kepribadian dan situasi anak.
“Kita juga perlu melindungi anak-anak yang sebenarnya bukan pelaku bullying, tapi dituduh melakukan bullying. Mereka juga bisa menjadi korban bullying. Jadi kita harus kenali dulu siapa yang melakukan bullying dan siapa yang menjadi korban,” lanjutnya.
Ia menambahkan, ada tiga komponen penting dalam pemantauan kasus bullying, yakni guru kelas, orang tua, dan anak. Ketiga elemen ini harus memastikan komunikasi yang baik karena dapat memainkan peran penting dalam mencegah perundungan.
“Jika tidak ada komunikasi yang baik antara ketiga elemen tersebut, terutama antara orang tua dan sekolah, jika terjadi hal seperti bullying dan anak kembali menjadi korban maka akan timbul rasa saling curiga. Namun jika ada komunikasi dan koordinasi yang baik, maka Bullying bisa saja terjadi.