Anak Dipukul Temannya? Ini Saran Psikolog untuk Orangtua
JAKARTA – Banyak sekali pola asuh orang tua yang mempengaruhi perilaku anak saat tumbuh dewasa, sehingga orang tua harus bijak dalam membangun pola pikir yang baik sejak dini.
Sayangnya, banyak orang tua yang beranggapan bahwa ketika anaknya mendapat tindakan kasar dan buruk dari teman sebayanya, mereka harus menyikapinya dengan baik, yang justru memberikan si kecil pola asuh yang salah.
Demikian diungkapkan psikolog anak Ellie Riesman saat tampil di acara pagi hari di Indonesia, seperti dikutip akun Instagram Parentinganaku, Senin 22 April 2024.
Banyak orang tua yang bertanya-tanya tentang sikap dan nasihat yang tepat untuk diberikan ketika temannya bersikap kasar dan jahat. Tugas orang tua yang pertama adalah menyalurkan emosi anak.
“Sebenarnya. Seorang anak mengatasi perasaannya dulu. Karena dia tidak bisa berpikir, barulah dia bertindak dengan perasaan, tanpa berpikir. Begitulah otak kita terbagi, kan? Jadi ada pusat emosi, ada pusat berpikir. center., jadi “kita selesaikan dulu. ‘Ya Tuhan, kamu sakit nak, menurutmu mana,’ itu aliran pertama,” katanya.
Setelah menyalurkan perasaannya, sebaiknya orang tua mendorong anak untuk berpikir kritis dengan mencoba mendiskusikan perilaku teman sebayanya dengan dirinya sendiri.
Hal ini mirip dengan ketika orang tua berperilaku buruk terhadap seorang anak dan membuat anak terkejut karena perilaku tersebut.
“Alangkah baiknya, ‘Kenapa kamu mendigitalkannya’ seperti itu. Nah, sekarang mari kita buktikan. “Apa yang kamu lakukan sebelumnya, kamu dicubit, seperti ditinju, nah kamu ditinju, lalu apa yang kamu lakukan? Apa?’, ‘Kamu tersentak’, ‘Sekarang ibu memukulku,’ kata Ellie Risman.
“Jika dia tidak tahu harus berkata apa, ‘Baiklah, pikirkanlah. Ibu memukulmu, apakah ada alasan dia memukulmu?” Jadi itu adalah sesuatu yang harus kita bangun,” lanjutnya.
Keterampilan berpikir kritis anak harus dikembangkan sejak dini agar mereka mampu mengenali sumber konflik. Kemudian orang tua memberi tahu cara yang tepat untuk mengungkapkan kemarahannya kepada anak tanpa bereaksi dengan kemarahan lainnya.
Sebaliknya, kata Eli Riesman, mereka membalasnya dengan kalimat penuh tanda tanya untuk menimbulkan empati terhadap orang lain.
“Kedua, berhentilah mengungkapkan kemarahan dengan kemarahan, dengan tindakan. Katakan dengan kata-kata. “Oh, karena dengan cara itulah orang itu akan bangun.” kenapa kamu memukuliku Apa kesalahan yang telah aku perbuat? Jangan minta mereka menjawab terlebih dahulu. Kalau misalnya dia diancam, dia harus membela diri. Ya, pertahanan diri lagi-lagi sebuah proses. “Kami menjelaskan kepada anak-anak kami bagaimana prosesnya,” jelas Ellie Riesman.
Proses berpikir seperti ini yang dibangun sejak dini agar anak tidak bersikap sewenang-wenang terhadap orang lain.
Dengan begitu, Elly Risman berharap generasi penerus bisa lebih menganalisis kesulitan orang lain agar bisa saling membantu, sehingga memberikan manfaat positif dalam proses sosialisasi anak-anaknya.
“Harusnya proses berpikirnya berkembang, kenapa dia memukul. ‘Dari mana dia mendapat kebiasaan memukul? Tanyakan pada diri sendiri, jangan kasihan padanya karena dia suka memukul home run.’ anak punya kemampuan analitis,” jelasnya. Ini hasil tes psikologi ibu muda pelaku kekerasan terhadap anaknya di Tangsel yang akan segera melengkapi berkas perkara kekerasan terhadap anak .id 12 Juni 2024.