Ekonomi Daerah Tambang Tumbuh Tinggi, Tapi Warga Lokal Tak Sejahtera
gospelangolano.com, Jakarta – Lembaga riset sektor energi dan pertambangan Reformer menyoroti kesenjangan ekonomi yang sangat besar di wilayah tempat industri pertambangan berada. Ada pihak yang diuntungkan besar dengan adanya ranjau darat, namun ada pula pihak yang harus menanggung kerugian akibat adanya ranjau darat.
Kumaidi Notungoro, CEO Reformer, mengatakan temuan penelitian yang diperoleh Reformer menunjukkan bahwa investasi di bidang pertambangan menjadi landasan pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tersebut.
Misalnya saja pertumbuhan ekonomi di wilayah Halmahara, Maluku Utara yang mencapai kisaran 20%-25% selama periode 2020-2023.
“Ini luar biasa, di atas rata-rata pertumbuhan nasional yang berkisar antara 5%-6%,” kata Kumaidi dalam paparannya di St. Regis Jakarta, Selasa (17/9/2024).
Namun, tingkat kemiskinan juga meningkat secara signifikan di wilayah-wilayah tersebut.
“Jika ditilik lebih jauh, pertumbuhan ekonomi mencakup konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi korporasi, ekspor dikurangi impor, porsi terbesarnya adalah investasi swasta,” jelas Komaidi.
Dari temuan tersebut, Reformator juga mengulas pola investasi, dimana 60% PMA (penanaman modal asing) di daerah dalam 3 tahun terakhir berasal dari luar Pulau Jawa.
Sedangkan indeks intensitas kemiskinan (P2) di wilayah tersebut masih tinggi, kata Komaidi tanpa merinci lebih lanjut.
Data BPS menunjukkan indeks intensitas kemiskinan (P2) perkotaan/perdesaan di Maluku Utara mencapai 0,19 pada semester I tahun 2024.
Selain itu, di wilayah perkotaan/perdesaan maluku mencapai 0,89 pada semester I tahun 2024.
Artinya, peningkatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan tidak kembali ke masyarakat, ujarnya.
“Di satu sisi, indikator ekonomi terlihat bagus, namun indikator sosial dan kemasyarakatan rendah.” Saya kira ini pekerjaan rumah kita bersama, baik pemerintah pusat maupun daerah, karena kalau kita tidak segera melakukan intervensi. Ini akan berubah menjadi bom waktu,” tambahnya.
Sebelumnya, ekonom Institute for Economic Development and Finance (Indef) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia terhenti dalam 10 tahun terakhir. Hal itu mengacu pada dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef Rizal Tawfikhurman mengatakan kebijakan infrastruktur yang dibuat Jokowi lambat memberikan dampak ekonomi. Akibatnya, arti pertumbuhan ekonomi menjadi angka yang tidak terlalu penting.
“Pencapaian pertumbuhan ekonomi selama satu dekade menghambat pencapaian tujuan tersebut. Hingga saat ini pertumbuhan ekonomi masih menopang konsumsi dalam negeri,” kata Rizal dalam diskusi Indef bertajuk Tinjauan 10 Tahun Jokowi di Sektor Ekonomi, Selasa (27/1). 8/) 2024).
Ia mencatat, konsumsi dalam negeri memberikan kontribusi sekitar 58% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Ia memperkirakan tren pertumbuhan tersebut lebih rendah dibandingkan laju pertumbuhan ekonomi.
“Jika kita ingin mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi, maka minimal konsumsi dalam negeri harus di atas itu,” ujarnya.
Pada periode kedua Presiden Jokowi, ia mengatakan tantangan pandemi Covid-19 mengharuskan pemerintah mengambil kebijakan tambahan. Seperti penyesuaian keuangan dan penyaluran bantuan sosial (benise) dalam jumlah besar.
Harapannya pertumbuhan keuangan cukup besar sehingga mempengaruhi kinerja pertumbuhan ekonomi, namun sayang jika kita melihat data konsumsi rumah tangga (periode kedua) selalu rendah, ujarnya.
Di sisi lain, Rizal menekankan soal efisiensi ekspor-impor. Dalam 10 tahun terakhir, ia menegaskan, tingkat ekspor Indonesia mengalami penurunan, meski meningkat namun jumlah impor juga meningkat.
“Itu mencerminkan perdagangan atau persaingan produk kita di pasar global ini, jadi banyak tantangan yang mempengaruhi persaingan menurut saya. Apalagi impor barang harus menjadi bahan baku agar kinerja industri bisa meningkat, tapi sayangnya impor semakin meningkat. , bukan untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing sebagian besar bahan baku industri,” jelasnya.
Riyzal mengatakan, pada masa pemerintahan Jokowi, sektor perekonomian menghadapi berbagai tantangan. Terakhir, mempengaruhi berbagai indikator perekonomian.
Ia mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 5 persen. Namun, menurutnya, angka tersebut belum cukup untuk mengangkat Indonesia keluar dari kelompok berpendapatan menengah.
“Angka tersebut gagal mencapai tujuan yang diharapkan yaitu mengangkat Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah,” kata Rizal.