7 Gejala Gangguan Identitas Disosiatif yang Perlu Dikenali, Lengkap Penyebabnya
gospelangolano.com, Jakarta. Gangguan identitas disosiatif (DID) adalah suatu kondisi mental yang ditandai dengan adanya dua atau lebih identitas atau kepribadian berbeda pada orang yang sama. Penderita DID sering kali mengalami rasa keterpisahan atau keterpisahan dari dirinya sendiri, yang dapat berujung pada amnesia terhadap peristiwa penting dalam hidupnya.
Gejala gangguan identitas disosiatif meliputi perubahan kepribadian mendadak, amnesia atas tindakan atau pengalaman, dan tekanan psikologis yang signifikan. Gangguan identitas disosiatif seringkali dipicu oleh pengalaman traumatis, terutama di masa kanak-kanak, seperti kekerasan seksual atau fisik.
Pengalaman traumatis ini dapat mengarahkan orang untuk mengembangkan mekanisme pertahanan mental yang disebut disosiasi, di mana orang memisahkan diri dari pengalaman yang menyakitkan atau mengancam. Selain itu, faktor genetik dan lingkungan juga mungkin berperan dalam berkembangnya kelainan ini. Perawatan yang tepat meliputi psikoterapi, terapi perilaku kognitif, dan dukungan medis untuk membantu penderita mengelola dan mengatasi gejala yang ada.
Berikut gospelangolano.com mengulas gejala dan penyebab gangguan identitas disosiatif seperti dirangkum berbagai sumber pada Selasa (30/4/2024).
Gangguan identitas disosiatif (DID) adalah gangguan mental yang ditandai dengan adanya dua atau lebih identitas atau kepribadian berbeda pada orang yang sama. Penderita DID sering kali mengalami rasa keterpisahan atau keterpisahan dari dirinya sendiri, yang dapat berujung pada amnesia terhadap peristiwa penting dalam hidupnya. Gangguan ini juga sering kali disertai dengan perubahan kepribadian secara tiba-tiba di mana orang tersebut berganti-ganti identitas atau kepribadian yang berbeda.
Gangguan identitas disosiatif (DID) dulu disebut gangguan kepribadian ganda. Seseorang yang didiagnosis dengan DID mungkin merasa tidak aman tentang identitas dan siapa dirinya. Mereka mungkin mengalami kehadiran identitas lain, masing-masing dengan nama, suara, sejarah pribadi, dan perilaku mereka sendiri.
Menurut Mayo Clinic, tanda dan gejala bergantung pada jenis gangguan identitas disosiatif, namun secara umum dapat mencakup: kehilangan ingatan (amnesia) pada periode waktu tertentu, peristiwa, orang, dan informasi pribadi. Anda merasa terlepas dari diri sendiri dan emosi Anda. Persepsi terhadap orang-orang dan benda-benda di sekitar Anda sebagai sesuatu yang menyimpang dan tidak nyata. Rasa identitas yang kabur. Stres atau masalah yang signifikan dalam hubungan, pekerjaan, atau bidang penting lainnya dalam hidup Anda. Ketidakmampuan untuk mengatasi stres emosional atau profesional. Masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, pikiran dan perilaku untuk bunuh diri.
Gangguan identitas disosiatif biasanya disebabkan oleh pelecehan seksual atau fisik di masa kanak-kanak. Terkadang penyakit ini berkembang sebagai respons terhadap bencana alam atau peristiwa traumatis lainnya, seperti pertempuran. Gangguan ini merupakan cara untuk menjauhkan atau menghindari trauma. Selain itu, terdapat penyebab lain dari gangguan identitas disosiatif, yaitu: Faktor lingkungan
Lingkungan yang penuh kekerasan, perselisihan keluarga yang serius, atau ketidakstabilan dapat berkontribusi pada perkembangan gangguan disosiatif. Stres kronis yang terjadi di lingkungan ini dapat menyebabkan reaksi tidak sehat di otak yang kemudian menyebabkan disosiasi. Faktor genetik dan fisik
Penelitian menunjukkan bahwa gangguan disosiatif mungkin terkait dengan faktor genetik dan fisik tertentu. Terdapat bukti bahwa kondisi ini bisa bersifat keturunan, artinya dapat diturunkan dari generasi ke generasi, dan juga terkait dengan perubahan kimia otak yang terkait dengan gangguan neurotransmitter. Stres emosional
Stres yang berhubungan dengan tekanan emosional, seperti kehilangan orang yang dicintai, perpisahan, atau situasi kehidupan yang sulit, juga dapat menyebabkan gangguan disosiatif. Proses disosiasi seringkali merupakan mekanisme pertahanan diri yang digunakan untuk melarikan diri sementara dari kenyataan yang menyakitkan atau tekanan emosional yang berlebihan.
Perawatan untuk gangguan identitas disosiatif (DID) mencakup berbagai pendekatan terapeutik yang dirancang untuk membantu orang mengelola gejala dan meningkatkan kualitas hidup. Berikut adalah beberapa pendekatan pengobatan yang umum: 1. Psikoterapi
Psikoterapi, terutama terapi dasar dan terapi perilaku kognitif, seringkali menjadi pengobatan pilihan utama untuk DID. Terapis bekerja dengan orang-orang untuk memahami dan mengatasi penyebab gangguan tersebut, mengidentifikasi pola disosiasi, dan mengembangkan strategi untuk mengelola perubahan kepribadian yang tiba-tiba. 2. Terapi integratif
Terapi integratif menggabungkan berbagai pendekatan terapeutik, termasuk psikoterapi, terapi perilaku kognitif, dan terapi pemaparan, untuk mengurangi gejala SAD dan meningkatkan kesejahteraan psikologis. 3. Terapi wicara
Terapi bicara, sering disebut konseling, adalah salah satu pendekatan yang direkomendasikan untuk menangani gangguan disosiatif. Pendekatan ini berfokus pada pemahaman dan mengatasi masalah mendasar yang mendasari gejala individu. Tujuan utamanya adalah untuk membantu orang memahami penyebab gejala yang mereka alami dan memberikan keterampilan serta strategi untuk mengelola periode perasaan terputus yang mungkin mereka alami. 4. Terapi suportif
Dukungan sosial dan emosional dari keluarga, teman, dan ahli kesehatan mental sangat penting dalam pengobatan DID. Menyediakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi penderita gangguan ini dapat membantu mereka mengatasi kesulitan dan meningkatkan kualitas hidup mereka. 5. Pengobatan dengan obat-obatan
Meskipun tidak ada obat khusus untuk DID, penggunaan obat-obatan tertentu, seperti antidepresan, antipsikotik, atau obat penenang, dapat membantu mengatasi gejala terkait seperti depresi, kecemasan, atau gangguan tidur. 6. Terapi EMDR (desensitisasi dan pemrosesan ulang gerakan mata).
Terapi EMDR dapat membantu orang mengatasi trauma mendasar penyebab DID. Teknik ini melibatkan stimulasi bilateral, seperti gerakan mata atau suara, untuk membantu orang menghidupkan kembali pengalaman traumatis dan mengurangi gejala terkait.